Pengamat Nilai Pemerintah Harus Berani Hentikan Pembayaran Obligasi Rekap BLBI
jatim.jpnn.com, SURABAYA - Pemerintah pusat berencana mengurangi subsidi energi serta menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) menjadi 12 persen. Namun, rencana itu masih dalam pembahasan.
Wacana tersebut mendapat kritik dari Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho. Pasalnya, rencana itu muncul di tengah proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mencapai Rp600 triliun.
Dia menilai salah satu cara untuk menyelamatkan APBN adalah menghentikan pembayaran obligasi rekapitalisasi yang selama ini membebani anggaran negara.
Pasalnya, pembayaran obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
“Setiap tahun Rp50-70 triliun dari APBN dialokasikan untuk membayar obligasi rekap ini. Sementara itu, rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPn dan subsidi energi dipangkas. Di mana keberpihakan pemerintah,” kata Hardjuno, Senin (2/12).
Maka dari itu, pemerintah seharusnya berani mengambil langkah progresif untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI. Dia menilai alokasi anggaran itu sudah tidak sesuai dengan prinsip keadilan fiskal.
"Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Dia menjelaskan apabila pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI maka anggaran sebesar Rp50-70 triliun per tahun bisa digunakan menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan PPn atau mengurangi subsidi energi.
Hardjuno kritik wacana pemerintah menaikkan PPn 12 dan pengurangan subsidi anggaran.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News