Membesarkan Kartini di Era Modern: Kisah Firman Talkah dan 3 Putri Profesornya

“Setelah bapak wafat, saya baru kuliah S3 di usia lebih dari 50 tahun, seperti menepati janji. Beliau wafat di usia 50 tahun pernikahan mereka dengan ibu. Kami sudah menyiapkan pidato anniversary, tetapi takdir berkata lain,” sambung Anggraini dengan haru.
Mereka pun menyiapkan buku yang akan dibagikan saat pengukuhan guru besar. Sebuah persembahan kecil untuk perjuangan besar sang ayah.
Dalam Refleksi Hari Kartini, Anggraini mengatakan menjadi perempuan hebat seperti Kartini tak mungkin terwujud tanpa kehadiran ayah hebat di belakangnya.
"Ayah kami bukan orang kaya, tetapi dia kaya prinsip. Dia menanamkan kejujuran sebagai nilai mutlak, dan pendidikan sebagai jalan untuk naik kelas sosial," tuturnya.
Kalimat yang selalu diingat dan diwariskan oleh sang ayah adalah 'tunggak jarak mrajak, tunggak jati semi' yang memiliki arti jika seseorang mengutamakan atau memperhatikan sesuatu (seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, dll), hal itu akan berkembang dan sukses.
Hal tersebut pun dia tekankan kepada para mahasiswa yang mengambil jalur bidik misi. Menjadi seseorang yang hebat macam Kartini tidak bisa tercapai apabila tidak ada sosok ayah yang hebat.
"Saya tekankan itu juga pada mahasiswa bidik misi saya. Ayah saya membentuk mindset yang membebaskan kami dari kemiskinan, dari pola pikir lama dan semua itu dibayar tuntas dengan hasil hari ini,” pungkas Anggraini. (mcr12/jpnn)
Dengan nilai hidup, cinta, & disiplin, Firman Talkah menciptakan ruang bagi anak-anak perempuannya tumbuh & berprestasi. Refleksi modern perjuangan RA Kartini.
Redaktur & Reporter : Arry Dwi Saputra
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News