Pengamat Beber PSI Sebagai Partai Otoriter, Jabatan Dewan Pembina Jadi Penyebab

Airlangga menjelaskan analisisnya yang menyatakan PSI bertendensi otoriter berawal dari kritik AD/ART. Hal tersebut adalah cara pandang ilmiah dengan menggunakan pendekatan kelembagaan dan kelembagaan baru.
“Dalam institusionalisasi politik maka pijakan analisis memegang peran penting yaitu terkait proses pelembagaan yang di dalamnya ada regulasi, salah satunya adalah AD/ART sebagai aturan utama dari partai politik,” bebernya.
Dari kajian kelembagaan itu dapat diketahui ternyata Dewan Pembina PSI bisa menjadi apa saja sehingga bisa menganulir suara dari bawah. Selain itu, keanggotaan Dewan Pembina menjabat permanen seumur hidup, kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal.
“Bukti di anggaran dasar itu memperlihatkan jejak-jejak diktatorial atau otoritarianisme pada tubuh PSI. Ini di anggaran dasar lho ya, bukan saya yang bilang. Jadi, kok tidak mau disebut bertendensi otoriter,” ucapnya.
Airlangga melanjutkan yang menjadi pertanyaan adalah Dewan Pembina PSI yang bisa menjadi apa saja lalu memberikan ruang konstitusional partai sangat membatasi posisi ketua umum partai guna menjalankan peran dalam mengelolanya.
"Dari rujukan regulasi institusional, terbuka ruang kiprah ketua umum sangat dibatasi peran tak terbatas dari Dewan Pembina. Konsekuensi terjauh dari posisi ini adalah Ketum PSI bisa tidak lebih sebagai alat atau 'boneka' dari dewan pembina dalam internal PSI,” tuturnya.
Lebih tepatnya, corak dasar kelembagaan dari PSI adalah oligarki, arah otoritarianisme dari PSI mengarah bukan saja sekadar oligarki.
"Namun, menjadi permanen oligarki ketika seluruh dewan pembina yang ada di dalamnya bersifat permanen. Dari situ kita melihat sama sekali tidak ada nafas demokrasi maupun republikanisme di dalamnya," kata dia.
Dewan Pembina PSI memiliki masa jabatan permanen seumur hidup. Hal tersebut dinilai sebagai hal yang otiriter.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News