Pakar Nilai RKUHP & UU Kejaksaan Sebabkan Tumpang Tindih
Kemudian restorative justice berpotensi tersandera karena aturan Kapolri dengan peraturan jaksa berbeda
Winarsi memberikan contoh Peraturan Kapolri Nomor 8/2021 tentang penanganan tindak pidana berbasis keadilan restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 tentang penghentian penuntutan dengan pendekatan serupa.
“Ketika kewenangan tak jelas, proses restorative justice justru lambat. Tidak ada yang merasa punya tanggung jawab penuh,” ucapnya.
Seharusnya, prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam hukum administrasi menjadi kunci sukses pendekatan ini.
Hal itu juga akan berdampak pada legitimasi hukum merosot, jika aparat terlihat bersaing, bukan kolaborasi.
“Potensi penyalahgunaan wewenang meningkat, merugikan warga. Restorative justice yang diharapkan sebagai solusi justru terhambat,” kata dia.
Winarsi menegaskan solusi utama adalah reformasi hukum komprehensif. Pemerintah harus mempertegas pembagian kewenangan, harmonisasi regulasi, dan penguatan pengawasan antar-lembaga. Dia juga mendorong penegakan prinsip proporsionalitas. Tidak boleh ada lembaga super body.
“Kewenangan harus seimbang agar check and balance bekerja optimal,” pungkasnya. (mcr12/jpnn)
Pakar Hukum Administrasi Unair Nilai RKHUP & UU Kejaksaan menyebabkan tumpang tindih dan merugikan masyarakat.
Redaktur & Reporter : Arry Dwi Saputra
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News