Pakar Nilai Kenaikan PPN Bebani Konsumen, Transaksi Digital & Daya Beli Terancam

Jumat, 27 Desember 2024 – 16:10 WIB
Pakar Nilai Kenaikan PPN Bebani Konsumen, Transaksi Digital & Daya Beli Terancam - JPNN.com Jatim
Pakar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair Prof Dr Rahmat Setiawan, S.E., M.M., menilai penerapan PPN 12 persen pada transaksi QRIS dapat mendorong masyarakat kembali menggunakan pembayaran tunai. Foto: Humas Unair

jatim.jpnn.com, SURABAYA - Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. 

Kebijakan itu menuai berbagai penolakan karena dianggap membebani masyarakat. Salah satu sorotan utama dampaknya terhadap transaksi non-tunai menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).

Pakar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair Prof Dr Rahmat Setiawan, S.E., M.M., menilai penerapan PPN 12 persen pada transaksi QRIS dapat mendorong masyarakat kembali menggunakan pembayaran tunai.

“Kalau memang pakai QRIS ternyata juga terkena dampak PPN 12 persen tentu yang masyarakat akan kembali ke tunai. Ngapain pilih QRIS kalau memang nanti kena PPN 12 persen. Jadi, perilaku orang itu sebenarnya rasional dan akan selalu menyesuaikan,” kata Prof Rahmat tertulis, Jumat (27/12).

Dia menyayangkan dampak kebijakan ini terhadap upaya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam mendorong penggunaan transaksi non-tunai. Menurutnya, kebijakan ini justru bertentangan dengan kampanye yang bertujuan meningkatkan efisiensi transaksi dan meminimalkan pencucian uang.

“Kita diarahkan pemerintah menggunakan transaksi non-tunai untuk kemudahan bertransaksi sehingga nanti konsumsi meningkat dan pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Kedua, kepentingan pemerintah untuk mengurangi tindakan pencucian uang hasil korupsi. Mekanisme pencucian uang kalau tunai itu cari buktinya sulit. Nah, kalau pakai non-tunai pasti ter-record,” ucapnya.

Prof Rahmat juga mengkritik kebijakan ini karena meskipun terdapat pengecualian untuk barang tertentu, kebutuhan sehari-hari masyarakat tetap menjadi sasaran.

“Yang di luar pengecualian itu tidak cuma barang mewah, contoh deodoran, pasta gigi, dan sabun. Itu semua bukan barang mewah, tetapi kita butuhkan sehari-hari dan kena PPN 12 persen,” jelasnya.

Pakar Unair menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berpengaruh terhadap transaksi digital dan daya beli masyarakat.
Facebook JPNN.com Jatim Twitter JPNN.com Jatim Pinterest JPNN.com Jatim Linkedin JPNN.com Jatim Flipboard JPNN.com Jatim Line JPNN.com Jatim JPNN.com Jatim

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News