Pakar Ekonomi Sebut Bansos Mutlak Dibutuhkan, Nilainya Ditambah Jika Perlu
“Dari sisi penerima, perlu dipertegas bagaimana yang menerima bansos bisa naik kelas. Mereka harus dibantu supaya tidak menerima bansos lagi. Itu harus clear. Untuk bantuan produktif nilainya masih kurang,” ucapnya.
Strategi kedua, yaitu adaptive social protection atau pemberian bantuan berbasis kebutuhan. Hal itu sudah diterapkan di banyak negara maju yang memungkinkan masyarakat menerima bansos seusai mendaftarkan diri.
Alumnus S3 Nagoya University itu berharap Indonesia bisa mengadopsi dua strategi tersebut lantaran pemberian bansos saat ini masih menerapkan pendekatan top down, yaitu menentukan siapa yang layak atau tidak layak menerima.
Dia mencontohkan, tiba-tiba ada orang terkena PHK dan penghasilannya drop. Mereka perlu bantuan. Dengan sistem saat ini, golongan itu tidak bisa disebut butuh bansos sehingga boleh mendaftarkan diri.
“Isunya saat ini pemutakhiran data yang tidak cepat, mungkin bisa tiga sampai empat bulan baru dapat bansos. Jadi, prosesnya kelamaan, perlu dibuat sistem yang seketika mereka butuh bantuan. Itu misal kalau meniru pemberian bansos negara maju,” kata dia.
Terlepas dari itu, Teguh mengapresiasi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diluncurkan sejak 2017. Menurut dia, BPNT menjawab persoalan klasik terkait apakah lebih baik memberikan bansos bentuk uang atau sembako.
“BPNT itu inovasi yang sangat baik. Uang ditransfer ke dalam kartu dan kartunya bisa dibelanjakan untuk barang tertentu. Itu juga bisa menghidupi warung-warung kelontong. Jadi, sudah ideal menurut saya untuk Indonesia,” pungkasnya. (mcr12/jpnn)
Pakar Ekonomi UI Teguh Dartanto bansos mutlak dibutuhkan, jika perlu ditambah nominalnya
Redaktur & Reporter : Arry Dwi Saputra
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News