Korupsi Pengadaan Tanah Kampus, Eks Direktur Polinema Malang Jadi Tersangka
Proses negosiasi dan pembayaran dilakukan saat dua dari tiga bidang tanah belum bersertifikat serta tanpa surat kuasa dari seluruh pemilik lahan.
Tak hanya itu, proses pembayaran DP atau uang muka juga diduga dilakukan secara serampangan. Mulai dokumen yang dibuat secara backdate atau tanggal mundur, tanpa notulen rapat bahkan akta jual beli sekalipun.
“Dari total harga pembelian, uang muka sebesar Rp3,87 miliar dibayarkan pada 30 Desember 2020 menggunakan dokumen yang dibuat secara backdate, termasuk surat keputusan panitia, notulen rapat, hingga akta jual beli,” ujar Windhu.
Meski demikian, proses pembayaran terus dilanjutkan AS secara bertahap hingga mencapai Rp22,6 miliar. Namun, pelaksanaannya tetap tidak disertai proses akuisisi aset atau pencatatan hak atas tanah oleh Polinema.
Lebih lanjut, kata Windhu, sebagian besar lahan yang dibeli diketahui masuk dalam zona ruang manfaat jalan dan badan air serta berbatasan langsung dengan sempadan sungai sehingga tidak sesuai untuk pembangunan gedung kampus.
Sebagian dari dana yang telah dibayarkan Polinema, yaitu sebesar Rp4,3 miliar dan Rp3,1 miliar, dititipkan kepada notaris dan internal Polinema untuk membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) penjual dan pembeli.
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum seharusnya tidak dikenakan BPHTB.
“Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp22,624 miliar,” katanya.
Mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017–2021 berinisial AS ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan ta
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jatim di Google News